Demokrasi Yang Tersandera || Ilyas, M.M.Pd

Di desa tempat tinggal saya terdapat dua keluarga keturunan Tionghoa. Berkat proses islamisasi yang massif di awal Orde Baru kedua keluarga ini akhirnya melakukan konversi dari agama leluhurnya Khong Hu Chu ke Islam.

Hampir semua anak turunannya menjadi muslim. Seiring waktu mereka pun melakukan proses asimilasi serta kawin-mawin dengan penduduk pribumi yang berasal dari etnis Mbojo (Bima Dompu).

Pada tahun 1980-an salah seorang putera tertuanya---yang menikahi perempuan pribumi---bahkan menunaikan ibadah haji. Sebuah keputusan dan tindakan yang mendapat sambutan luar biasa dari warga desa kami yang memang seratus persen muslim.

Dia memang orang pertama yang naik haji dari keluarga keturunan itu di desa kami. Di era itu, warga lokal pun masih jarang yang mampu menunaikan Rukun Islam yang kelima tersebut, sehingga ketika ada warga keturunan yang naik haji tentu cukup membesarkan hati. Ada semacam rasa bangga sekaligus perasaan haru yang membuncah tatkala melihat ketulusannya menjalankan perintah Islam.

     
Meski sebagai muallaf pemahaman maupun pengamalan agamanya masih banyak yang harus dibenahi tapi kami tidak peduli. Bagi warga desa kami, keputusannya menikahi perempuan pribumi serta kesediaannya pindah agama saja sudah cukup.

Paling tidak, kedua hal itu secara teologis menambah kebanggaan serta keyakinan kami akan ‘kebenaran’ Islam; bahwa hanya Islam agama yang diridhoi Allah. Menjelang keberangkatannya ke Tanah Suci, siang malam warga datang memberikan ucapan selamat serta doa. Bahkan seorang tokoh agama sekaligus keturunan penyiar Islam yang kharismatik di daerah kami datang secara khusus untuk memberi dukungan. Karena itu, tak heran jika pada hari keberangkatannya banyak warga desa yang tak kuasa menahan haru dan menitikkan air mata.

Kami semua tenggelam dalam keharuan yang menyesakkan dada kala mengantarnya keluar dari rumah sambil diiringi sejuta doa dan harapan. Ya kami mendoakannya semoga dia tetap istiqomah dengan agama barunya, juga doa untuk kejayaan dan keabadian Islam. Dan alhamdulillah doa warga desa terkabul karena 20 tahun kemudian ibunya---meski sudah sepuh---akhirnya mendapatkan ‘hidayah’ mengikuti jejak puteranya naik haji.

etnis tionghoa
sumber: Tribunnews.com
Seperti lazimnya warga Tionghoa, kedua keturunan ini pun berdagang macam-macam: jual beli hasil bumi (padi, beras, palawija) dan kayu hutan, usaha jasa angkutan, membuka bengkel dan toko kelontong. Seiring era reformasi ada juga anggota keluarga mereka yang terjun ke politik.

Bahkan ada yang pernah menduduki jabatan politik seperti anggota legislatif daerah maupun terpilih sebagai kepala desa di wilayah kecamatan kami.

Kendati demikian hampir seluruh anggota keluarga keturunan ini sudah memeluk Islam, bahkan ada yang sudah naik haji serta menikah dengan penduduk pribumi, namun sentimen ras terhadap mereka tidak berarti telah hilang sama sekali. Sebagian warga masih nyinyir memandang warga keturunan, meski yang terakhir ini sudah berusaha bersikap baik terhadap warga pribumi.

Jika ada ucapan atau perilaku tidak terpuji dari salah satu anggota keturunan ini (misalnya berjudi atau minum miras) maka serta merta orang segera menghubung-hubungkannya dengan ras mereka. Misalnya, maaf, dengan menyebut mereka dalam bahasa lokal sebagai “lako Cina” (bahasa Bima: “anjing Cina”), sebuah sebutan yang sarat dengan prasangka dan stigmatik. Meski demikian, secara keseluruhan relasi warga keturunan dengan pribumi di desa kami relatif baik.

Dalam hal ini, dibandingkan etnis Arab misalnya, proses asimilasi etnis Tionghoa memang relatif belum selesai. Biarpun sama-sama pendatang tapi kehadiran warga asal Arab di Indonesia hampir tidak ada masalah.

Di samping diterima secara baik, etnis Arab juga bisa masuk ke dalam birokrasi pemerintahan maupun berkiprah di bidang lain seperti LSM, di samping profesi tradisional mereka sebagai pedagang.

Meski dulu Koordinator KONTRAS Munir-keturunan Arab-dikenal sangat kritis terhadap rezim Orde Baru maupun TNI (hingga akhirnya tewas dibunuh dengan racun arsenik dalam sebuah operasi intelijen TNI) misalnya, namun orang tidak pernah menghubungkan sikap kritisnya dengan asal-usul kesukuannya. Begitu pula, meski ada etnis Arab yang berperilaku tidak terpuji sebagaimana Tionghoa di kampung saya, tapi nyaris tidak pernah melahirkan sentimen Arab, apalagi wacana ‘pengusiran’ sebagaimana dialami etnis Tionghoa. Contoh terakhir adalah ucapan penghinaan ‘tiko’ (tikus kotor) warga keturunan Steven kepada Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi dalam sebuah insiden antrian di Bandara Singapura, lagi-lagi ada upaya untuk mengaitkan insiden itu dengan ras tertentu. Hingga kini, etnis Tionghoa terus berjuang dan hidup di bawah bayang-bayang beban sejarah kelam komunisme di masa Orde Lama (melalui pembentukkan Poros Peking-Jakarta) maupun penerapan politik antiras yang cukup keras oleh rezim Orde Baru (melalui larangan penggunaan simbol dan identitas Tionghoa, termasuk larangan memeluk agama Khong Hu Chu).

           Karena itu, mengerasnya politik sektarian berbasis ras dan agama dalam Pilkada DKI Jakarta yang lalu memunculkan kegelisahan terhadap masa depan demokrasi di Indonesia: mungkinkah pola-pola politik purba ala Jakarta akan terulang dalam Pilkada serentak 2018 bahkan Pilpres 2019? Pertanyaan ini wajar mengingat Jakarta sebagai ibukota negara seharusnya menampilkan perilaku politik yang rasional, santun dan matang. Dalam setiap pertarungan politik munculnya kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan itu kadang tidak bisa dinafikan sama sekali. Dulu waktu Megawati naik menjadi presiden berpasangan dengan Hamzah Haz, juga dihantam dengan isu gender dan agama. Sekelompok kecil partai Islam mempersoalkan kebolehan kepemimpinan seorang perempuan berdasarkan perspektif Islam. Lalu saat Pilpres pada 2004 Susilo Bambang Yudhoyon (SBY) maupun Joko Widodo (2015) juga sama-sama dihadang isu agama: keduanya diisukan beragama non Muslim. Di AS pun, saat Pilpres 2009 Barrack Obama juga diserang dengan isu agama. Lawannya menuding Obama bersekolah di madrasah saat menempuh pendidikan dasarnya di Indonesia.

         Tapi fenomena Pilkada Jakarta lebih mengerikan. Jika pada kasus-kasus di atas kampanye hitam hanya berlangsung sporadis serta sesaat, kasus Jakarta telah menimbulkan “gempa bumi politik” yang dahsyat berikut daya rusak yang ditimbulkannya, terutama dalam mencabik-cabik urat-nadi kebangsaan. Bayangkan, puluhan ribu bahkan jutaan orang turun ke jalan-jalan hampir di seluruh Indonesia untuk menggelar aksi demo berjilid-jilid untuk sebuah tuntutan yang sumir: dugaan penistaan agama yang dilakukan Cagub petahana Ahok dalam kasus Al-Maidah 51. Berbulan-bulan kebencian dan kemarahan publik itu dirawat dan diawetkan oleh para petualang politik dan penyembah berhala kekerasan dengan mengabaikan sama sekali proses hukum yang sedang berjalan.

Meski fakta-fakta dalam persidangan maupun penyidikan awal kasus ini tidak menunjukkan bukti awal yang cukup, namun tekanan massa mengakibatkan segalanya menjadi dipaksakan. Persidangan yang digelar pun menjadi absurd karena sang terdakwa sudah terlebih dahulu divonis bersalah oleh kemarahan publik yang dibakar oleh prasangka ras. Maka mengharapkan proses peradilan yang fair dalam situasi seperti ini bagaikan mengharapkan pelangi di tengah terik matahari. Kejernihan berpikir dan kewarasan nalar di tengah amukan kemarahan dan kebencian menjadi sesuatu yang sia-sia. Menjelang Aksi Bela Islam 212 akhir 2016 misalnya, kepada stasiun TV swasta, perwakilan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) asal Surabaya menyampaikan tuntutannya dengan kalimat pendek saja: “Pokoknya penjarakan Ahok!”. Bagi mereka, urusannya sepele: tangkap dan penjarakan Ahok, selesai masalah.

         Kasus ini berakhir antiklimaks dengan kekalahan Ahok-Djarot dari Anis-Sandi di putaran kedua pada 19 April lalu. Sebuah hasil yang sudah diperkirakan sebelumnya berdasarkan sejumlah hasil lembaga survei. Meski survei juga menujukkan bahwa 70% warga DKI Jakarta menyatakan puas dengan kinerja petahana Ahok-Djarot, namun sentimen ras yang dilancarkan secara massif akhirnya mengalahkan nalar dan akal sehat. Ada yang beralibi bahwa kekalahan itu dipicu oleh kesenjangan ekonomi. Namun menurut saya dugaan ini lemah. Sama lemahnya dengan teori bahwa banyaknya anak-anak muda yang jatuh ke dalam pelukan terorisme keagamaan itu karena kemiskinan ekonomi atau kebodohan. Fakta menunjukkan bahwa banyak anggota terorisme itu justru berasal dari keluarga menengah dan berpendidikan tinggi.

Ir. Basuki Tjahaja PurnamaM.M.
sumber : id.wikipedia.org
     Ahok memang tidak ditakdirkan dan cukup beruntung dengan memeluk Islam sebagaimana keluarga Tionghoa di desa saya. Tapi tindakan konversi agama sekalipun, menurut saya, sama sekali bukan jaminan kaum minoritas akan hidup aman. Sumber utamanya adalah prasangka, kebencian dan kecurigaan yang ada dalam alam bawah sadar pikiran manusia.

Betapapaun politik sektarian telah menimbulkan ketakutan terutama minoritas untuk bersuara kritis. Setelah ini orang mungkin lebih memilih diam daripada menerima risiko teror atau ancaman. Tetapi jika kita telah memantapkan hati memilih demokrasi sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara maka jelas sekali bahwa menguatnya politik sektarian saat ini adalah ancaman yang akan membunuh roh demokrasi itu secara perlahan. Pilkada DKI Jakarta menunjukkan bagaimana demokrasi itu disandera oleh para elit dan kekuatan ormas keagamaan radikal dengan dalih demokrasi. Mereka menghantam demokrasi dari belakang. Mereka bahkan membunuh demokrasi dengan memperalat demokrasi. Wallahu a’lam.


semoga bermanfaat untuk semua " Teamwork212 "

Artikel Terkait

Demokrasi Yang Tersandera || Ilyas, M.M.Pd
4/ 5
Oleh
Dapatkan Update Artikel via Email!
emoticon
Dapatkan update setiap artikel terbaru otomatis dikirim ke email dengan memasukan email Anda disini!!
Delivered by Feedburner

No Comment