Segi tiga epidemiologi

     Sector Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi transisi epidemiologi ( epidemiological transition ) yang harus menanggung beban berlebih ( triple burden ).

     Meskipun banyak penyakit menular  ( communicable disease ) seperti cacar dan frambusia yang sudah bisa di tanggani, namun masih banyak penyakit lainseperti tuberculosis, kusta dan diare yang elum tuntas. Pada sisi lain terjadi peningkatan penyakit tidak menular ( non communicable disease ) seperti penyakit jantung , diabetes mellitus, kanker, dan obesitas. Masalah di atas di tambah dengan masalah lain  yang munculnya penyakit baru ( new emerging disease ) seperti SARS dan flu burung.

    Penyakit menular adalah penyakit yang di tularkan melalui berbagai media. Penyakit seperti ini merupakan masalah kesehatan yang besar di  hampir semua Negara berkembang karna angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi dalam waktu yang relatif singkat. Berbeda dengan tidak menular yang biasanya bersifat menahun dan banyak di sebabkan oleh gaya hidup ( life style ), penyakit menular umumnya bersifat akut (mendadak) dan dapat menyerang semua lapisan masyarakat. Penyakit jenis ini masih di prioritaskan mengingat sifat menularnya yang bisa menyebabkan wabah dan menimbulkan kerugian yang besar.

     Penyakit menular merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Faktor tersebut yaitu lingkungan (environment), agen penyebab penyakit (agent), dan pejamu (host). Ketiga faktor penting ini disebut segi tiga epidemiologi (epidemiological triangle). Hubungan ketiga faktor tersebut biasanya di gambarkan secara sederhana sebagai timbangan , yaitu agen penyebab penyakit pada satu sisi dan pejamu pada sisi lain dengan lingkungan sebagai penumpunya.

     Bila agen penyebab penyakit dengan pejamu berada dalam keadaan seimbang, maka seseoarang berada dalam keadaan sehat. Perubahan keseimbangan akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit. Penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan ‘bobot’ agen penyebab penyakit menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi sakit. Demikian pula bila agen lebih banyak atau lebih ganas  sedangkan faktor pejamu tetap, maka bobot agen penyebab menjadi lebig berat. Sebaliknya bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam keadaan sehat, apabila faktor lingkungan menguntungkan agen penyebab penyakit maka orang tersebut akan sakit.

1. Lingkungan

      Lingkungan di bagi menjadi dua yakni lingkungan fisik dan lingkungan non fisik.
Lingkungan fisik terdiri dari :

a. Keadaan geografis ( dataran tinggi / rendah, persawahan dll)

   Keadaan geografis seperti ketinggian suatu tempat juga mempengaruhi penularan penyakit. Penularan nyamuk aedes aegypti tidak menyukai ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut. Kadar oksigen juga mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang. Semakin tinggi letak pemukiman, maka akan semakin rendah kadar oksigennya. Dataran tinggi juga berhubungan dengan temperature udara. Lingkungan persawahan juga bisa di hubungkan dengan penyakit yang di tularkan oleh cacing, parasif, dan nyamuk

b. Kelembapan udara

    Sebagian besar vector penular penyakit dan agen penyebab penyakit lebih menukai lingkungan yang lembab. Nyamuk aedes aegypti biasanya mencari tempat perkembangbiakan yang teduh dan terlindungi dari sinar maahari

c. Temperature

   Temperature sering di hubungkan dengan cuaca dan letak Negara. Di Negara tropis seperti Indonesia, temperaturnya lebih rendah lebih disukaioleh vector dan agen penyebab penyakit di banding temperature tinggi. Sebagian besar bakteri akan mati pada pemanasan 80-90  derajat celcius kecuali bakteri berspora yang akan mati pada suhu 100 derajat celcius. Pada temperature 40-50 derajat celcius.atau 10-20 derajat celcius. Mikroba akan mengalami pertumbuhan yang lambat karna pertumbuhan optimal bakteri pada suhu 20-40 derajat celcuis. Pada temperature di bawah 0 derajat celcius tidak ada pertumbuhan mikroba.

d. Lingkungan tempat tinggal

   Sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan penularan penyakit. Rumah dengan pencahayaan yang kurang memudahkan perkembangan sumber penyakit. Sinar matahari mengandung sinar ultra violet yang bisa membunuh kuman penyakit.
Aliran udara ( ventilasi ) berkaitan dengan penularan penyakit. Rumah dengan ventilasi yang baik akan menyulitkan pertumbuhan kuman penyakit. Pertukan udara yang baik dapat memecah konsentrasi kuman di udara.

    Bahan bangunan rumah berdampak pada sanitasi perumahan. Rumah dengan lantai tanah akan berbeda dengan lantai ubin bila di tinjau dari segi kesehatan. Dinding beton dan tembok akan jauh lebih baik dari pada dinding dengan anyaman bambu atau dinding semi permanen.

     Sarana air minum merupakan bagian yang sangat penting dari kesehatan lingkungan. Sumber air minum dapat berasal dari sumur gali ,sumur pompa tangan dangkal / dalam(SPTDL/SPTDK) , sumur artesis, perpipaan atau PDAM, penampungan air hujan (PAH), dan penampungan mata air(PMA). Semua sumber tersebut harus memenuhi syarat kesehatan air minum yaitu kadar E.colli nol atau negative. Sumur gali misalnya harus berjarak minimal 10 meter dari septi tank. Sarana ini sangat erat kaitannya dengan penyakit diare.

    Jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan dapat mencegah penularan penyakit melalui lalat dan vector lainnya. Tinja yang buang sembarangan dapat menjadi media penularan dan tempat yang baik bagi kuman.

   Selain itu saluran pembuangan air limbah  juga berkontribusi terhadap sanitasi lingkungan . halaman rumah yang becek  karna SPAL memudahkan penularan penyakit terutama yang di tularkan oleh cacing dan parasit.

  Lingkungan nonfisik meliputisosial (pendidikan, pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun-temurun), ekonomi( kebijakan mikro dan kebijakan local), politi ( sukses kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit).

  Lingkungan sosial masyarakat berpengaruh pada tingkat pengetahuan , sikap dan praktek masyarakat dalam bidang kesehatan. Tingkat pendidikan berhubungan dengan kemampuan menerima informasi kesehatan dari media massa dan petugas kesehatan. Banyak kasus kesakitan dan kematian masyarakat yang diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendidikan penduduk. Suatu laporan dari Negara bagian kerala di india utara menyatakan bahwa status kesehatan disana sangat baik , jauh di atas rata-rata status kesehatan nasional setelah di telusuri ternyata tingkat pendidikan kaum wanita sangat tinggi di atas kaum pria. Status pekerjaan juga mempengaruh pada kesehatan. Lingkungan pemukiman yang sebagian besar terdiri dari buruh pabrik akan berbeda dengan perumahan dosen ataupun dengan perkampungan nelayan.

     Pengaruh budaya pada penularan penyakit memang bayak belum di teliti.beberapa kebiasaan lokal didaerah Sumatra seperti “tidak turun ke tanah”(tidak keluar rumah ) bagi bayi cakupan imunisasi dasar rutin. Kebiasaan member ramuan tradisional pada tali pusat bayi yang baru lahir tanpa pengawasan tenaga medis dan tanpa pertimbangan sterilitas dapat meningkatkan resiko kasus tenatus neonatorum.

     Faktor ekonomi yang berhubungan dengan daya beli masyarakat akan berkaitan sangat signifikan dengan penyakit menular. Kemampuan ekonomi masyarakat biasanya tercermin pada kondidi lingkungan perumahan seperti sarana air minum,jamban keluarga, SPAL, lantai, dinding, dan atap rumah. Kemampuan anggaran rumah tangga juga mempengaruhi kecepatan untuk meminta pertolongan apabila anggota keluarganya sakit. Mulai dari kebijakan pemerintah, PERDA yang berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat akan berpengaruh secara langsung (tidak berobat waktu sakit) atau kenaikan harga bahan pokok.

   Situasi politik juga baik nasional maupun lokal misalnya pemilu dan pilkada akan menyedot sumber daya masyarakat yang dapat mempengaruhi kejadian kesakitan dan kematian pada masyarakat . pemimpin dengan tingkat kepedulian tinggi terhadap kesehatan masyarakat akan mendukung dalam bentuk komitmen dan dana untuk penanggulangan penyakit.



Semoga bermanfaat untuk semua “ Teamwork212 “
  

Demokrasi Yang Tersandera || Ilyas, M.M.Pd

Di desa tempat tinggal saya terdapat dua keluarga keturunan Tionghoa. Berkat proses islamisasi yang massif di awal Orde Baru kedua keluarga ini akhirnya melakukan konversi dari agama leluhurnya Khong Hu Chu ke Islam.

Hampir semua anak turunannya menjadi muslim. Seiring waktu mereka pun melakukan proses asimilasi serta kawin-mawin dengan penduduk pribumi yang berasal dari etnis Mbojo (Bima Dompu).

Pada tahun 1980-an salah seorang putera tertuanya---yang menikahi perempuan pribumi---bahkan menunaikan ibadah haji. Sebuah keputusan dan tindakan yang mendapat sambutan luar biasa dari warga desa kami yang memang seratus persen muslim.

Dia memang orang pertama yang naik haji dari keluarga keturunan itu di desa kami. Di era itu, warga lokal pun masih jarang yang mampu menunaikan Rukun Islam yang kelima tersebut, sehingga ketika ada warga keturunan yang naik haji tentu cukup membesarkan hati. Ada semacam rasa bangga sekaligus perasaan haru yang membuncah tatkala melihat ketulusannya menjalankan perintah Islam.

     
Meski sebagai muallaf pemahaman maupun pengamalan agamanya masih banyak yang harus dibenahi tapi kami tidak peduli. Bagi warga desa kami, keputusannya menikahi perempuan pribumi serta kesediaannya pindah agama saja sudah cukup.

Paling tidak, kedua hal itu secara teologis menambah kebanggaan serta keyakinan kami akan ‘kebenaran’ Islam; bahwa hanya Islam agama yang diridhoi Allah. Menjelang keberangkatannya ke Tanah Suci, siang malam warga datang memberikan ucapan selamat serta doa. Bahkan seorang tokoh agama sekaligus keturunan penyiar Islam yang kharismatik di daerah kami datang secara khusus untuk memberi dukungan. Karena itu, tak heran jika pada hari keberangkatannya banyak warga desa yang tak kuasa menahan haru dan menitikkan air mata.

Kami semua tenggelam dalam keharuan yang menyesakkan dada kala mengantarnya keluar dari rumah sambil diiringi sejuta doa dan harapan. Ya kami mendoakannya semoga dia tetap istiqomah dengan agama barunya, juga doa untuk kejayaan dan keabadian Islam. Dan alhamdulillah doa warga desa terkabul karena 20 tahun kemudian ibunya---meski sudah sepuh---akhirnya mendapatkan ‘hidayah’ mengikuti jejak puteranya naik haji.

etnis tionghoa
sumber: Tribunnews.com
Seperti lazimnya warga Tionghoa, kedua keturunan ini pun berdagang macam-macam: jual beli hasil bumi (padi, beras, palawija) dan kayu hutan, usaha jasa angkutan, membuka bengkel dan toko kelontong. Seiring era reformasi ada juga anggota keluarga mereka yang terjun ke politik.

Bahkan ada yang pernah menduduki jabatan politik seperti anggota legislatif daerah maupun terpilih sebagai kepala desa di wilayah kecamatan kami.

Kendati demikian hampir seluruh anggota keluarga keturunan ini sudah memeluk Islam, bahkan ada yang sudah naik haji serta menikah dengan penduduk pribumi, namun sentimen ras terhadap mereka tidak berarti telah hilang sama sekali. Sebagian warga masih nyinyir memandang warga keturunan, meski yang terakhir ini sudah berusaha bersikap baik terhadap warga pribumi.

Jika ada ucapan atau perilaku tidak terpuji dari salah satu anggota keturunan ini (misalnya berjudi atau minum miras) maka serta merta orang segera menghubung-hubungkannya dengan ras mereka. Misalnya, maaf, dengan menyebut mereka dalam bahasa lokal sebagai “lako Cina” (bahasa Bima: “anjing Cina”), sebuah sebutan yang sarat dengan prasangka dan stigmatik. Meski demikian, secara keseluruhan relasi warga keturunan dengan pribumi di desa kami relatif baik.

Dalam hal ini, dibandingkan etnis Arab misalnya, proses asimilasi etnis Tionghoa memang relatif belum selesai. Biarpun sama-sama pendatang tapi kehadiran warga asal Arab di Indonesia hampir tidak ada masalah.

Di samping diterima secara baik, etnis Arab juga bisa masuk ke dalam birokrasi pemerintahan maupun berkiprah di bidang lain seperti LSM, di samping profesi tradisional mereka sebagai pedagang.

Meski dulu Koordinator KONTRAS Munir-keturunan Arab-dikenal sangat kritis terhadap rezim Orde Baru maupun TNI (hingga akhirnya tewas dibunuh dengan racun arsenik dalam sebuah operasi intelijen TNI) misalnya, namun orang tidak pernah menghubungkan sikap kritisnya dengan asal-usul kesukuannya. Begitu pula, meski ada etnis Arab yang berperilaku tidak terpuji sebagaimana Tionghoa di kampung saya, tapi nyaris tidak pernah melahirkan sentimen Arab, apalagi wacana ‘pengusiran’ sebagaimana dialami etnis Tionghoa. Contoh terakhir adalah ucapan penghinaan ‘tiko’ (tikus kotor) warga keturunan Steven kepada Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi dalam sebuah insiden antrian di Bandara Singapura, lagi-lagi ada upaya untuk mengaitkan insiden itu dengan ras tertentu. Hingga kini, etnis Tionghoa terus berjuang dan hidup di bawah bayang-bayang beban sejarah kelam komunisme di masa Orde Lama (melalui pembentukkan Poros Peking-Jakarta) maupun penerapan politik antiras yang cukup keras oleh rezim Orde Baru (melalui larangan penggunaan simbol dan identitas Tionghoa, termasuk larangan memeluk agama Khong Hu Chu).

           Karena itu, mengerasnya politik sektarian berbasis ras dan agama dalam Pilkada DKI Jakarta yang lalu memunculkan kegelisahan terhadap masa depan demokrasi di Indonesia: mungkinkah pola-pola politik purba ala Jakarta akan terulang dalam Pilkada serentak 2018 bahkan Pilpres 2019? Pertanyaan ini wajar mengingat Jakarta sebagai ibukota negara seharusnya menampilkan perilaku politik yang rasional, santun dan matang. Dalam setiap pertarungan politik munculnya kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan itu kadang tidak bisa dinafikan sama sekali. Dulu waktu Megawati naik menjadi presiden berpasangan dengan Hamzah Haz, juga dihantam dengan isu gender dan agama. Sekelompok kecil partai Islam mempersoalkan kebolehan kepemimpinan seorang perempuan berdasarkan perspektif Islam. Lalu saat Pilpres pada 2004 Susilo Bambang Yudhoyon (SBY) maupun Joko Widodo (2015) juga sama-sama dihadang isu agama: keduanya diisukan beragama non Muslim. Di AS pun, saat Pilpres 2009 Barrack Obama juga diserang dengan isu agama. Lawannya menuding Obama bersekolah di madrasah saat menempuh pendidikan dasarnya di Indonesia.

         Tapi fenomena Pilkada Jakarta lebih mengerikan. Jika pada kasus-kasus di atas kampanye hitam hanya berlangsung sporadis serta sesaat, kasus Jakarta telah menimbulkan “gempa bumi politik” yang dahsyat berikut daya rusak yang ditimbulkannya, terutama dalam mencabik-cabik urat-nadi kebangsaan. Bayangkan, puluhan ribu bahkan jutaan orang turun ke jalan-jalan hampir di seluruh Indonesia untuk menggelar aksi demo berjilid-jilid untuk sebuah tuntutan yang sumir: dugaan penistaan agama yang dilakukan Cagub petahana Ahok dalam kasus Al-Maidah 51. Berbulan-bulan kebencian dan kemarahan publik itu dirawat dan diawetkan oleh para petualang politik dan penyembah berhala kekerasan dengan mengabaikan sama sekali proses hukum yang sedang berjalan.

Meski fakta-fakta dalam persidangan maupun penyidikan awal kasus ini tidak menunjukkan bukti awal yang cukup, namun tekanan massa mengakibatkan segalanya menjadi dipaksakan. Persidangan yang digelar pun menjadi absurd karena sang terdakwa sudah terlebih dahulu divonis bersalah oleh kemarahan publik yang dibakar oleh prasangka ras. Maka mengharapkan proses peradilan yang fair dalam situasi seperti ini bagaikan mengharapkan pelangi di tengah terik matahari. Kejernihan berpikir dan kewarasan nalar di tengah amukan kemarahan dan kebencian menjadi sesuatu yang sia-sia. Menjelang Aksi Bela Islam 212 akhir 2016 misalnya, kepada stasiun TV swasta, perwakilan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) asal Surabaya menyampaikan tuntutannya dengan kalimat pendek saja: “Pokoknya penjarakan Ahok!”. Bagi mereka, urusannya sepele: tangkap dan penjarakan Ahok, selesai masalah.

         Kasus ini berakhir antiklimaks dengan kekalahan Ahok-Djarot dari Anis-Sandi di putaran kedua pada 19 April lalu. Sebuah hasil yang sudah diperkirakan sebelumnya berdasarkan sejumlah hasil lembaga survei. Meski survei juga menujukkan bahwa 70% warga DKI Jakarta menyatakan puas dengan kinerja petahana Ahok-Djarot, namun sentimen ras yang dilancarkan secara massif akhirnya mengalahkan nalar dan akal sehat. Ada yang beralibi bahwa kekalahan itu dipicu oleh kesenjangan ekonomi. Namun menurut saya dugaan ini lemah. Sama lemahnya dengan teori bahwa banyaknya anak-anak muda yang jatuh ke dalam pelukan terorisme keagamaan itu karena kemiskinan ekonomi atau kebodohan. Fakta menunjukkan bahwa banyak anggota terorisme itu justru berasal dari keluarga menengah dan berpendidikan tinggi.

Ir. Basuki Tjahaja PurnamaM.M.
sumber : id.wikipedia.org
     Ahok memang tidak ditakdirkan dan cukup beruntung dengan memeluk Islam sebagaimana keluarga Tionghoa di desa saya. Tapi tindakan konversi agama sekalipun, menurut saya, sama sekali bukan jaminan kaum minoritas akan hidup aman. Sumber utamanya adalah prasangka, kebencian dan kecurigaan yang ada dalam alam bawah sadar pikiran manusia.

Betapapaun politik sektarian telah menimbulkan ketakutan terutama minoritas untuk bersuara kritis. Setelah ini orang mungkin lebih memilih diam daripada menerima risiko teror atau ancaman. Tetapi jika kita telah memantapkan hati memilih demokrasi sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara maka jelas sekali bahwa menguatnya politik sektarian saat ini adalah ancaman yang akan membunuh roh demokrasi itu secara perlahan. Pilkada DKI Jakarta menunjukkan bagaimana demokrasi itu disandera oleh para elit dan kekuatan ormas keagamaan radikal dengan dalih demokrasi. Mereka menghantam demokrasi dari belakang. Mereka bahkan membunuh demokrasi dengan memperalat demokrasi. Wallahu a’lam.


semoga bermanfaat untuk semua " Teamwork212 "

Kata-Kata Mutiara || Mukrim

Mukrimak_165
Mukrimak_165
Mukrimak_165





FAHRI HAMZAH, Sudahlah..... || Ilyas, M.M.Pd

Berkat kedekatan dengan teman-teman aktivis Islam maka sejak Pemilu 1999 Pemilu pertama era reformasi---saya memantapkan hati memilih Fahri Hamzah sebagai anggota DPR RI dari Dapil NTB.

Seperti anak-anak muda lainnya saya pun ingin secepatnya keluar dari kepengapan politik rezim Orde Baru dan bergabung dengan salah satu partai sebagai jalan demokrasi.

Saya pun menjatuhkan pilihan pada Partai Keadilan (sebelum menjadi Partai Keadilan Sejahtera, PKS). Tanpa ragu sedikitpun. Slogan “bersih dan profesional” yang disematkan oleh pendiri harian “Kompas” Jakob Oetama kepada PKS kian membuktikan bahwa kiprah politik partai dakwah ini tidak hanya mendapat simpati dari umat Islam tapi juga nonmuslim.

Selain dikenal “bersih” PKS juga diidentikkan oleh publik sebagai partainya anak-anak muda Islam yang energik dan santun.

H. Fahri Hamzah, S.E.
Sebagai bukti kecintaan itu, saya juga memamah media-media yang berafiliasi dengan PKS seperti majalah “Tarbawi” atau “Siyasah” maupun media Islam yang mendukung kiprah politik PKS misalnya majalah “Suara Hidayatullah” dan “Sabili”.

Saya juga mengagumi sepak terjang lembaga-lembaga pendidikan dan ekonomi yang dikelola oleh para kader PKS seperti sekolah Islam Terpadu, lembaga zakat Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) maupun Rumah Zakat Indonesia (RZI). Dari semua itu tabloid “Aliansi Keadilan”lah yang “mempertemukan” saya dengan Fahri Hamzah (FH).

Meski sama-sama dari NTB tapi sebelumnya saya tidak banyak mengetahui tentang kiprahnya, kecuali pernah sekali saya membaca artikel opininya bersamaan dengan artikel saya yang pernah dimuat di majalah “Suara Hidayatullah”.

Tentu saja hingga kini pun FH tidak mengenal saya, kendati ketika berkunjung ke Dompu saya sempat beberapa kali mengikuti kegiatan yang dihadirinya di DPD PKS Dompu.

Setelah dia memimpin KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) barulah saya mulai mengenal kiprahnya lebih luas terutama dalam gerakan kemahasiswaan di Tanah Air. Saya pun rajin mengikuti dan membaca kolom-kolomnya yang muncul secara rutin di tabloid “Aliansi Keadilan”. Kesan sementara saya, FH merupakan calon pemimpin Indonesia masa depan. Sosoknya meyakinkan: muda, cerdas, berani dan tentu memiliki komitmen keislaman yang tak diragukan.

Sumber: wikipedia
Tetapi mulai 2013 saya mulai ragu dengan figur ini karena mulai sering melontarkan beberapa pernyataan kontroversial dan kontraproduktif. Salah satu yang saya ingat adalah pernyataan kerasnya yang mengecam KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dinilainya lebih mirip LSM ketimbang lembaga penegak hukum. Dia menuduh lembaga antirasuah itu cenderung ‘tebang pilih’ dalam pemberantasan korupsi. Terus-terang saya kaget dengan serangan FH ini.

Saya juga kecewa karena dia seolah tidak menunjukkan keberpihakannya pada upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air yang sudah kronis. Ketika publik mempertanyakan rendahnya produktivitas dewan dalam menghasilkan legislasi, lagi-lagi orang ini menanggapinya dengan enteng dan arogan “Memangnya negara ini langsung bubar tanpa legislasi?”.

Dalam Pileg 2014 saya sudah mulai patah arang untuk memilihnya kembali sebagai legislator. Saat itu saya hendak menjatuhkan pilihan pada salah satu caleg yang berasal dari Bima yang berlatarbelakang guru. Sebagai orang yang berprofesi sebagai guru, saya menaruh harapan pada caleg ini. Namun ketika saya mendiskusikan pilihan itu dengan istri saya berubah pikiran.

Setelah melalui diskusi yang cukup ‘alot’, istri menyampaikan keraguannnya akan kemampuan calon saya dalam memperjuangkan aspirasi kami warga NTB di DPR Pusat. Istri mencoba meyakinkan saya bahwa karena perjuangan di dewan itu cukup ‘keras’, katanya, sehingga kami pun membutuhkan caleg yang ‘mumpuni’. Dan, dari sekian caleg Dapil NTB, pilihan kami jatuh pada FH. Saya dan istri mencoba ‘melupakan’ pernyataan-pernyataan kontraproduktif FH sebelumnya.

Sayang sekali, belum hilang kekecewaan itu, kami lagi-lagi dikagetkan dengan twit heboh FH yang merendahkan para pekerja migran kita yang justru sedang berjuang merebut hak-hak ekonominya di negeri orang. Kasus terbaru adalah sikapnya yang sewenang-wenang saat memimpin Rapat Paripurna pengajuan hak angket terhadap KPK dalam kasus korupsi e-KTP sehingga berbuah aksi walk-out sebagian fraksi.

Kabarnya kasus ini melibatkan sejumlah politisi Senayan, sebagaimana terungkap dari keterangan dan kesaksian Miryam Haryani, politisi Partai Hanura, di depan pengadilan. Publik dengan mudah membaca arah penggunaan hak angket sebagai bentuk resitensi DPR atas keterlibatan sejumlah rekan mereka dalam mega korupsi e-KTP itu. Secara perlahan sikap maupun pernyataan-pernyataan FH yang melawan nurani publik semacam ini akhirnya semakin mengubah persepsi saya tentang sosok ini.

Saya bergaul dan mengenal beberapa rekan dari PKS. Mereka umumnya dikenal sangat santun dan rendah hati. Saya juga banyak belajar kepada mereka tentang keistiqomahan dalam beragama serta disipilin dalam ibadah. Tetapi sosok FH telah mengubah semuanya. Saya jadi merenung, jika politisi Islam bergaya koboi ala FH ini terus berbiak maka saya ragu untuk memilih partai Islam lagi. Indikatornya sederhana sekali: jika untuk menata ucapan saja masih susah apatah lagi menata negara? Bagian tubuh yang paling berbahaya dari FH saya kira adalah lidahnya. Ya, lisannya. Maka pada Pileg 2019 mendatang saya sudah memantapkan hati untuk move on dari orang ini. Selamat tinggal politisi Islam.

Semoga bermanfaat untuk semua " TeamWork212 "

Kurikulum Pendidikan Indonesia Dari Masa Ke Masa || Hend ardiansyah

Perubahan kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia adalah dengan niatan untuk memperbaiki sistem pendidikan, meskipun pada kenyataannya setiap kurikulum pasti memiliki kekurangan dan kelebihan



Pada dasarnya, perubahan kurikulum bisa dilakukan dengan dua cara, yakni dengan mengganti beberapa komponen di dalam kurikulum atau mengganti secara keseluruhan komponen-komponen kurikulum. Di indonesia semenjak pasca kemerdekaan tercatat sembilan kali perubahan kurikulum. Kurikulum pertama mulai pada tahun 1947 sampai dengan 1994 namun kurikulum ini bersifat sentralistik. Ketika penerapan kurikulum KBK dan KTSP mulai diberlakukan kurikulum yang desentralistik dimana sekolah mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan kurukulum masing-masing sesuai dengan kebutuhan pendidikan.

Setidaknya ada tiga konsep tentang kurikulum 2013, yaitu kurikulum sebagai substansi, kurikulum sebagai sistem dan kurikulum sebagai studi. Kurikulum sebagai substansi adalah konsep yang tidak jauh beda dengan kurikulum sebelumnya, namun kurikulum 2013 lebih bertumpu pada kualitas guru sebagai impelementator ketika merencanakan program pembelajaran, melaksanakan pembelajaran serta menialai atau mengevaluasi hasil pembelajaran, sebagai sistem kurikulum ini dapat dipastikan mengalami perubahan dari kosep kurikulum sebelumnya, sebab wacana pergantian kurikulum dalam dunia pendidikan merupakan hal yang wajar dan dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan pendidikan namun, dalam menentukan sistem yang baru diharapkan pembuat kebijakan (pemerintah) tidak asal berubah tanpa menentukan kerangka, konsep dasar maupun landasan filosofis yang mengaturnya, sedangkan sebagai bidang studi meruapakan suatu bidang kajian yang dilakukan oleh ahli kurikulum dn ahli pendidikan dengan tujuan untuk mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Jika dianalisa dari berbagai aspek tentu sudah sewajarnya menimbulkan pro dan kontra dari setiap perubahan kurikulum.

Sumber: www.eurekapendidikan.com
      Bicara kurikulum tentu semua pihak sepakat bahwa pembicaraan itu adalah soal kebijakan yang sangat strategis, karena semua perubahan kurikulum yang terjadi di indonesia merupakan rancangan pembelajaran yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan pembelajaran yang akan menentukan proses dan hasil sebuah pendidikan yang dilakukan.

Baca juga artikel " Memahami Masyarakat Bima Yang Rawan Konflik

     Dalam hal ini sekolah sebagai pelaksana pendidikan sangat berkepentingan dan tentu saja menjadi lahan utama yang akan terkena imbasnya, selain itu orang tua, masyarakat dan semua birokrasi juga mendapatkan langsung dari perubahan-perubahan kurikulum itu.

E. Mulyasa (2004: 13) mengungkapkan bhwa keberhasilan kurikulum harus melalui beberapa tahapan, diantaranya adalah: Adanya sosialisasi yang menyeluruh, Lingkungan yang kondusi, Mengembangkan fasilitas dan sumber belajar, Memupuk dan selalu mengembangkan kemandirian sekolah, Meluruskan paradigma ( pola pikir ) guru, Memberdayakan semua tenaga kependidikan

Hamalik, (2000: 19-23) dalam pengembangan kurikulum harus berdasarkan pada faktor-faktor:
  1. Tujuan filsafat dan pendidikan nasional yang dijadikan dasar untuk merumuskan ujuan instruksional yang pada gilirannya menjadi landasan dalam merumusskan tujuan kurikulum satuan pendidikan
  2. Sosial, budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat
  3. Perkembangan peserta didik yang menunjuk pada perkembangan peserta didik
  4. Keadaan lingkungan
  5. Kebutuhan pembangunan
  6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang sesuai dengan sistem nilai dan kemanusian serta budaya bangsa.
A. Kurikulum 1947

       Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda leer plan artinya rencana pelajaran, istilah ini lebih popular dibanding istilah curriculum (bahasa Inggris). Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan Rentjana Pelajaran 1947, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: 
  • Daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, 
  • Garis-garis besar pengajaran.

      Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

B. Kurikulum 1952, Rentjana Pelajaran Terurai 1952
      Pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang kemudian diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

        Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali, seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Pada masa itu juga dibentuk kelas Masyarakat. Yaitu sekolah khusus bagi lulusan Sekolah Rendah 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan tujuannya agar anak tak mampu sekolah ke jenjang SMP, bisa langsung bekerja.

C. Kurikulum 1964, Rentjana Pendidikan 1964
    Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilann, dan jasmani. Ada yang menyebut Panca wardhana berfokus pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

D. Kurikulum 1968
      Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan kurikulum 1964, yakni dilakukan perubahan struktur kulrikulum pendidikan dari pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum ini merupakan perwujudan perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.  Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis yaitu mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.

E. Kurikulum Periode 1975
      Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.
Setiap satuan pelajaran dirinci lagi dalam bentuk Tujuan Instruksional Umum (TIU), Tujuan Instruksional Khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi. Guru harus trampil menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

F. Kurikulum 1984, Kurikulum 1975 yang Disempurnakan
       Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut Kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986.

Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Akhiran penolakan CBSA bermunculan.

G. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
       Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuan pengajaran menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah. Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
                                                               

     Pada kurikulum 1994 perpaduan tujuan dan proses belum berhasil karena beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kehadiran Suplemen Kurikulum 1999  lebih pada menambal sejumlah materi.

Semoga bermanfaat untuk semua " TeamWork212 "


Memahami Masyarakat Bima Yang Rawan Konflik || Damhuji, M.Pd. M.A ( Dosen STKIP Taman Siswa Bima )

       Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, bahwa masyarakat Bima adalah salah satu masyarakat yang "Laten Konflik Kekerasan". Itulah image yang sudah meng-Indonesia dan begitu populer. Berdasarkan data yang dirilis oleh media bahwa konflik kekerasan di Bima satu dekade terakhir masuk kategori tertinggi di Indonesia.

Damhuji, M.Pd. M.A

      Banyak analisis dan argumentasi yang disampaikan oleh berbagai kalangan; bahwa akar masalahnya, antara lain disebabkan oleh narkoba, pengangguran, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan hukum, persaingan politik, krisis kepemimpinan, 'sara' dan dekadensi moral. Apa yang disampaikan oleh para analis di atas benar adanya. Tapi untuk memahami betul apa akar masalah yang menyebabkan lahirnya konfik kekerasan di Bima perlu penelitian yang lama, mendalam, partisipan, dan komprehensif.

      Secara teoritis bahwa masyarakat yang sakit akan mudah Tersulut lahirnya konflik kekerasan sedikit aja pemicunya maka berkobar konflik kekerasan tersebut. Begitupun sebaliknya, bahwa masyarakat yang sehat tidak mudah Tersulut untuk melahirkan konflik kekerasan. NAH, seperti apa masyarakat yang sakit dan sehat itu? Bagi saya masyarakat yang sakit itu adalah masyarakat yang pemahaman/pengamalan agamanya yang rendah, kesenjangan ekonomi yang menganga; angka penganggurannya sangat tinggi, penghargaan terhadap prestasi rendah, Penegakkan hukum yang tidak adil, KKN yang tinggi, dan leadership yang tidak efektif.

     Sementara masyarakat yang sehat adalah sebaliknya, yaitu religius, sejahtera, adil, cerdas, memiliki pemimpin yang intelektual agamis, dan berbudaya dalam segala aspek. Masyarakat yang sehat seperti ini akan sulit diprovokasi atau digiring oleh aktor apapun, termasuk aktor politik sekalipun. Untuk memahami betul, apakah masyarakat Bima dalam keadaan sakit atau sehat; perlu analisis, kajian atau penelitian yang serius. Mestinya/Seharusnya Pemerintah daerah harus memiliki kemauan dan menganggarkan dana penelitian yang cukup untuk memetakan dan memahami akar masalah konflik kekerasan di Bima.

Sumber: Okezone News
       Bagi teman-teman yang mau meneliti persoalan konflik di Bima, karena ini adalah penelitian kualitatif dan penelitian sosial, maka yang paling utama adalah metodologi dan prosedurnya. Teori memang penting, tapi hanya sekedar landasan awal dan sangat boleh jadi berbeda sama sekali dengan apa yang terjadi di lapangan. Teori yang dipakai adalah teori konflik saja dengan ditambah dengan hasil riset terdahulu yang relevan.

        NAH, saya mengajak para Pemuda Bima, terutama yang sedang serius mencalonkan diri sebagai Ketua KNPI untuk berbicara resolusi konflik kekerasan di Bima. Ayo kita dengarkan apa komentar dan gagasan mereka tentang konflik kekerasan di daerah Bima tercinta ini. Jika tak Kompeten maka segera cabut pencalonannya. Kami butuh pemimpin KNPI yang hebat dan berkualitas sebagai nahkoda dan inspirasi bagi generasi muda Bima seluruhnya.


Semoga bermanfaat untuk semua " Teamwork212 "

“Kotak Pandora” Fatwa MUI || Ilyas, M.M.Pd

Meski sidang atas dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh cagub petahana DKI Jakarta Ahok terus berlangsung (memasuki sidang ke-13), namun kemarahan sebagian umat Islam atas ucapannya tentang surat Al-Maidah 51 tetap membara sebagaimana dalam aksi demo yang digelar Forum Umat Islam (FUI) pada Jumat kemarin (31/3/2017).

Kendati aksi itu---lebih populer dengan sebutan “Aksi 313”---tidak semassif dua aksi sebelumnya, baik dari jumlah massa maupun gaungnya, namun gelombang aksi itu tetap hendak mengirimkan pesan bahwa ucapan Ahok dianggap telah melukai perasaan sebagian umat Islam.

Hanya saja, karena kasus ini beririsan dengan politik elektoral Pilkada DKI Jakarta maka menganggapnya sebagai murni persoalan agama dan hukum, hemat penulis, sama saja dengan mengingkari ombak yang menerpa pantai.

Salah satu pemicu aksi-aksi demo tersebut adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menilai bahwa ucapan Ahok saat berpidato di kepulauan Seribu Jakarta itu tergolong ‘penistaan’ terhadap agama Islam.

Fatwa tersebut kemudian berbuah gelombang aksi demontrasi oleh massa Aksi Bela Islam (ABI) jilid satu dan jilid dua. Menjelang Natal 2016 MUI juga mengeluarkan. fatwa haram bagi umat Islam ikut dalam perayaan Natal bersama, termasuk menggunakan atribut Natal, yang berujung pada aksi sweeping oleh ormas Islam tertentu di beberapa pusat perbelanjaan di Surabaya.

 Ilyas, M.M.Pd
Jujur hingga kini saya termasuk yang ‘gagal paham’ dengan fatwa MUI terkait larangan menggunakan atribut Natal bagi umat Islam.

Dalam siaran persnya (detikNews, 14 Desember 2016), Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam menyatakan bahwa “Menggunakan atribut keagamaan nonmuslim adalah haram. Mengajak dan atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan nonmuslim adalah haram”.

Asrorun mengatakan, atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu. Alasannya, karena banyak pemilik usaha (hotel, super market, departement store, restoran dsb) bahkan kantor pemerintahan yang mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan dari non muslim.

Jika alasannya karena “banyak pemilik usaha (hotel, super market, departement store, restoran dsb) bahkan kantor pemerintahan yang mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan dari nonmuslim” mungkin masih bisa dimaklumi karena hal itu dianggap melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan. Orang, badan usaha atau lembaga yang memaksakan karyawannya menggunakan atribut keagamaan di luar agamanya dapat dipandang melanggar HAM.

Tapi yang menjadi masalah adalah soal penggunaan “.atribut keagamaan yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.”

Bagi saya bukan fatwanya yang bermasalah namun yang dikhawatirkan adalah “side effect” dari fatwa itu yang memang memerlukan batasan-batasan yang jelas. Perihal “atribut keagamaan” tersebut debatable karena membuka beberapa kemungkinan penafsiran dan makna.

Terus-terang, bahkan sejak MUI mengeluarkan fatwa ‘haram’ memilih pemimpin non-Muslim alias ‘kafir’ terkait dengan Pilkada DKI Jakarta, saya sudah memperkirakan bahwa fatwa itu akan berkembang menjadi bola liar. Bagi kelompok-kelompok tertentu fatwa tersebut menjadi preseden untuk melakukan berbagai tindakan yang melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Apalagi fatwa tersebut kental dengan aroma politik karena terkesan untuk menjegal tampilnya Ahok dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta.

     Faktanya bola panas fatwa tersebut nyata adanya. Pasca fatwa haram pemimpin nonmuslim tersebut terjadi berbagai tindakan yang melanggar KBB seperti pembubaran paksa pelaksanaan kebaktian umat Kristiani di Sabuga Bandung maupun pembongkaran paksa baliho penerimaan mahasiswa baru di Kampus Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta yang dilakukan sebuah ormas Islam.

Alasannya karena baliho tersebut menampilkan salah satu mahasiswa Muslim berjilbab yang dianggap tidak pantas karena menggunakan atribut Muslim di sebuah kampus Kristen, meski faktanya di kampus tersebut juga terdapat banyak mahasiswa Muslim. Begitu pula dengan “efek samping” fatwa MUI perihal larangan penggunaan atribut Natal, telah menyebabkan sejumlah ormas Islam melakukan aksi “sweeping” di beberapa pusat perbelanjaan dan mall seperti yang terjadi Surabaya.


Sumber : wikipedia
Sejatinya MUI itu adalah “payung” yang harus mengakomodasi berbagai varian dan ‘citarasa keagamaan’ yang memang cukup banyak di kalangan umat Islam. Meski dahulu posisi dilematis MUI dilukiskan Buya Hamka seperti “kue bika”---karena harus mengompromikan kepentingan pemerintah (atas) dan masyarakat (bawah)---namun betapapun ia adalah penjaga ortodoksi resmi yang masih diakui oleh pemerintah maupun umat. Karena itu, MUI semestinya lebih bijak dan hati-hati dalam mengeluarkan fatwa.

Fatwa MUI seharusnya tetap diletakkan dalam konteks kepentingan bangsa secara luas, menjaga integrasi bangsa. Artinya MUI pun mengemban tugas keagamaan sekaligus tugas kebangsaan. Kendati fatwa itu hanyalah sebuah “pendapat hukum” (legal opinion) dan karenanya tidak selalu mengikat, namun sebagai penjaga ortodoksi keagamaan maka fatwa MUI tetaplah memiliki implikasi etis maupun praksis.

Karena itu fatwa haruslah benar-benar dilakukan oleh orang-orang yang, di samping memiliki otoritas dan kapabilitas, juga independen; bukan karena faktor tekanan, kebencian atau pesanan pihak tertentu. Meski fatwa haram mengucapkan selamat Natal saat MUI dipimpin Buya Hamka pada 1980-an ditentang rezim Soeharto, namun siapapun tak meragukan independensi dan ketulusan Buya Hamka.

Meski sebagian umat Islam keberatan dengan fatwa tersebut namun orang tetap menghormatinya. Sikap hormat itu bukan semata karena kelembagaan MUI-nya tapi lebih pada pribadi Buya Hamka yang memang dikenal bersih, santun, sederhana, berwibawa dan karenanya sangat disegani baik oleh umat Islam maupun penganut agama lain. Dengan kata lain, dapat dikatakan pribadi Buya Hamka lebih besar dari lembaga MUI.

Baca juga artikel " Kaum Muda Menatap Masa Depan Lewat KNPI "

       Keadaannya berbeda dengan MUI sekarang. Dalam beberapa hal fatwa MUI kerap menimbulkan resistensi bahkan dianggap “memprovokasi” sebagian kalangan melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menciderai keluhuran Islam. Fatwa MUI bukannya memberikan “kedamaian” dan “ketenangan” tetapi malah menimbulkan guncangan dan kontroversi yang kurang produktif. Publik menangkap kesan kuat bahwa fatwa MUI cenderung “terburu-buru” tanpa mempertimbangkan efek sampingnya tadi, bahkan dalam beberapa hal fatwanya beraroma “radikal”, sesuatu yang belum ada presedennya dalam sejarah fatwa-fatwa MUI.

Karena itu perubahan dan kecenderungan-kecenderungan ini kiranya menarik diteliti: benarkah internal MUI kian ‘dikuasai’ atau didominasi kelompok-kelompok Islam ‘garis keras’ sehingga menyebabkan fatwa dan wajah MUI menjadi berubah? Seperti diungkapkan Martin van Bruinessen (1992: 17) bahwa ukuran ‘mainstream’ atau ‘ortodoksi’ itu berdasarkan standar kriteria lembaga-lembaga keagamaan mapan (padahal mapan tidak identik dengan benar lho!).

Malah, kata Bruinessen, yang dianggap ortodok itu pun berdasarkan paham mayoritas ulama atau golongan yang dominan. Di atas semua itu, sebuah ortodoksi juga sangat bergantung pada situasi dan arah pendulum politik penguasa. Dengan demikian kriteria ‘sempalan’ dan ‘ortodoksi’ itu bersifat tentatif. Bukankah Muhammadiyah yang hari ini menjadi paham ortodoksi pada mulanya justru dianggap ‘sempalan’ oleh kelompok keagamaan mayoritas?.


Sumber : http://news.metrotvnews.com


        Hal ini penting diingat karena, seperti dikemukakan, fatwa MUI tetaplah memiliki implikasi serius secara teologis maupun sosial. Fatwa akan tetap memiliki konsekuensi “negasi” dan “konfirmasi” bahkan “persekusi” sebagaimana terlihat dari pengusiran bahkan penyerangan terhadap penganut Ahmadiyah (di Lombok Timur dan Cikeusik, Tasikmalaya) atau penganut Syiah (Sampang, Madura) pasca fatwa ‘sesat’ oleh MUI. Kasus terbaru adalah fatwa larangan penggunaan atribut keagamaan menjadi titik-masuk bagi sekelompok kecil umat Islam untuk mengganggu dan meneror kebebasan beragama orang lain. Padahal dalam interaksi antarbudaya bahkan antaragama peluang untuk saling “meminjam” atau “mengadopsi” itu sulit terhindarkan.

Dalam konteks Islam, sebagai agama paling’bungsu’ dibandingkan dua ‘abang’nya Yahudi dan Nasrani maka proses meminjam dan mengadopsi tersebut lebih tinggi lagi sebagaimana dalam tradisi memakai jilbab dan cadar, model menara mesjid atau penggunaan bendera dalam peperangan---yang sudah ada sejak zaman pra Islam.

Di Indonesia tradisi penggunaan kopiah hitam yang digunakan kaum Muslim untuk salat berasal dari pakaian buruh dan kuli kasar di Rusia sebelum Indonesia merdeka. Soekarnolah---sebagai bentuk keberpihakkannya kepada rakyat kecil tertindas---yang berjasa memperkenalkan kopiah hitam hingga menjadi identitas nasional hingga sekarang. Kopiah hitam bukan semata pakaian untuk ibadah kaum Muslim tapi juga aksesoris resmi yang bahkan dipakai oleh pejabat-pejabat negara non Muslim dalam acara-acara kedinasan atau formal kenegaraan seperti foto pelantikan kabinet, bahkan digunakan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka saat peringatan tujuhbelasan. Begitu pula sarung yang identik busana untuk ibadah kaum Muslim Indonesia semula merupakan pakaian yang digunakan umat Hindu di wilayah India selatan. Demikian pula dengan “baju koko” yang kini dengan bangga kita klaim sebagai “baju Muslim” atau “baju takwa” diadopsi dari Cina maupun penggunaan biji tasbih untuk memudahkan penghitungan dalam ritual zikir dan wirid berasal dari tradisi keagamaan kaum Hindu. Malah pada tahun 1930-an jas dan dasi, termasuk kini yang sering dipakai oleh pejabat Komisi Fatwa MUI, dulunya juga pernah diharamkan oleh ulama karena dianggap menyerupai pakaian kaum ‘kafir’ seperti penjajah Belanda.

Dengan demikian pertautan antara “budaya” dan “agama” itu sulit dibedakan. Dalam kenyataannya kedua ranah itu seringkali saling mengisi dan membaur menjadi satu. Banyak aktivitas atau peristiwa yang semula dipandang sebagai peristiwa budaya tapi kemudian berubah menjadi peristiwa atau aktivitas agama. Sepak bola dan musik adalah dua contohnya. Di beberapa klub raksasa sepak bola dunia terdapat sejumlah pemain Muslim yang merumput seperti Mesut Ozil (Arsenal), Samir Nasri (Real Madrid) atau Ibrahimovic (MU) yang secara spontan sering mengekspresikan kegembiraan dengan melakukan sujud syukur di lapangan usai mencetak gol di gawang lawan. Maka pada momen itu sepak bola itu berubah dari “peristiwa” atau “fenomena kultural” menjadi “fenomena agama”. Begitu pula musik. Pada awalnya orang memandang permainan musik sekadar hiburan atau ekspresi seni semata, bahkan sumber ‘kemaksiatan’ namun begitu musik menampilkan lirik atau syair-syair religi maka serta merta pandangan itu berubah: dari sekadar “fenomena sekular” menjadi media menyampaikan risalah Tuhan (media dakwah).

Dalam suatu pengajian yang saya ikuti di sebuah masjid di Dompu beberapa tahun lalu, seorang ustad dengan keras mengeritik pola dakwah melalui jalur politik (dakwah siyasah) sebagaimana dilakukan teman-teman kita di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) maupun melalui seni musik.

Sembari menunjukkan sejumlah dampak negatif yang ditimbulkannya (seperti timbulnya korupsi dan politik uang), dia menyatakan bahwa strategi dakwah melalui politik semacam itu tidak dicontohkan Rasulullah SAW. Buktinya, katanya, Nabi tidak pernah mendirikan partai politik; keberhasilan dakwah beliau ditempuh melalui dakwah konvensional.

Begitu pula dakwah melalui musik tidak pernah dilakukan oleh Nabi. “Saya mau tanya ada berapa orang yang masuk Islam atau bertambah keimanannya setelah mendengarkan lagu Rhoma Irama atau Opick?” tanya Ustad ini. Tentu saja pandangan ini agak simplifikatif, terlalu menyederhanakan masalah. Faktanya, dalam sebuah wawancara TV nasional, Dewa Bujana---gitaris Band Gigi---memberikan testimoni, bagaimana syair-syair religi yang dinyanyikan kelompok band ini memberikan pengaruh kepada penggemar maupun para personelnya. Misalnya, menurut Bujana, teman-temannya yang tadinya salatnya bolong-bolong menjadi lebih disiplin menjalankan perintah agamanya.

Penyebabnya, kata Bujana, para personel sering mendapat apresiasi dari penggemar atas lagu-lagu mereka. Kata Bujana lagi, seorang fans dari daerah sempat menelpon dan menyampaikan rasa haru karena tersentuh dengan lagu-lagu Gigi, bahkan membuat yang bersangkutan menjadi lebih rajin beribadah dan mendekatkan diri pada Tuhan. Apresiasi dan pengakuan dari para fans seperti itulah, kata Bujana, sehingga membuat teman-temannya menjadi ‘malu’ dan terdorong untuk disiplin menjalan perintah agamanya. Alasannya jelas, kata Bujana, “Kalau fans kita saja bisa berubah setelah mendengar musik kita, masak sih kita sendiri enggak?”.

Jadi, kembali pada topik tadi bahwa faktanya terjadinya pertautan lintas budaya bahkan lintas agama itu biasa terjadi bahkan kadang sulit dihindari.

Dalam penelitian Wawan Djunaedi (2008) tentang keterlibatan sejumlah Muslim dalam atraksi barongsai di Klenteng Bon Bio Surabaya menemukan bahwa, di samping dianggap tidak berpengaruh terhadap keyakinan pribadi sebagai Muslim keterlibatan mereka juga dapat menjadi medium praktik counter stereotype terhadap isu SARA.

.Jadi begitulah, banyak sekali atribut yang semula dianggap sebagai simbol agama tertentu kini dianggap sekedar simbol atau atribut budaya saja. Orang India sangat bangga dengan kemegahan bangunan Taj Mahal, padahal bangunan itu merupakan kuburan istri raja Raihan pada masa kejayaan Kerajaan Mughal di India, sebagaimana orang Indonesia (termasuk yang Muslim) bangga dengan bangunan Candi Borobudur peninggalan Kerajaan Budha---sebagai salah satu keajaiban dunia.

Saya khawatir jika nanti ada seorang Muslim yang memakai kaos dan bergambar candi serta merta dianggap menggunakan atribut agama lain. Lebih parah lagi kalau dituduh telah melakukan penistaan agama tertentu, repot kan?.

semoga bermanfaat untuk semua " Teamwork212 "